Menurut Teori Kependudukan yang di kemukakan oleh Thomas Robert Maltus bahwa pertumbuhan penduduk lebih cepat daripada bahan makanan. Penduduk tumbuh secara "deret ukur" (1,2,4,8,16...dst) sedangkan persediaan makanan cenderung mengikuti deret hitung (1,2,3,4...dst). Menurut Badan Pusat Statistik laju pertumbuhan penduduk pada periode 2000-2010 lebih tinggi daripada periode 1990-2000, yaitu 1,49 persen dibandingkan pada periode 1990-2000 yang hanya 1,45 persen. Sedangkan luas lahan pertanian makin berkurang dengan adanya pembangunan gedung dan perumahan.Apabila pertambahan penduduk melebihi pertumbuhan produksi pangan akan menimbulkan masalah sosial seperti kemiskinan, kelaparan,kekumuhan kota dan masalah lainnya.Data organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) PBB menyatakan sekitar 20 juta rakyat Indonesia mengalami kelaparan setiap hari.Bahkan Indonesia menempati posisi ke 71 dari 113 negara menurut Global Food Security Index tahun 2016 yang dirilis oleh The Economist
Menyikapi permasalahan tersebut Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI) bekerjasama dengan OXFAM Indonesia, mengadakan Media Talk : "Memajukan Pertanian Berkelanjutan untuk Mewujudkan Hak Atas Pangan" pada hari Sabtu tanggal 30 Oktober 2016 di Hotel Ibis Tamarin, Jakarta Pusat. Dengan menghadirkan 5 Narasumber yaitu Noor Avianto (Direktorat Pangan & Pertanian Bappenas), Tjuk Eko Hari Basuki (Kepala Pusat Ketersediaan Kerawanan Pangan Kementrian Pertanian), Dini Widiastuti (Direktur Program Keadilan Ekonomi OXFAM), Khudori (Pengamat Pangan & Pertanian FAAPPMI) dan Dea Ananda (Artis)
(dari kanan-ke kiri : Tjuk Eko, Noor Avianto, Dini Widiastuti, Khudori & Dea Ananda sumber : dok.FAAPPMI) |
Acara yang diawali dengan makan siang ini berlangsung singkat dan padat dari jam 13.00 - 15.00 Wib, dengan menghadirkan 5 narasumber sekaligus. Masing-masing Narasumber menyampaikan konsep dan gagasanya, sebagai berikut :
1. Pertanian Berkelanjutan dengan Kearifan Lokal
Presentasi diawali oleh Bapak Tjuk Eko, yang memberikan konsep Pertanian berkelanjutan dengan kearifan lokal sesuai nilai-nilai yang dianut dan dipraktikan Masyarakat setiap daerah. Di Jawa dikenal istilah Pranoto Mongso sebagai metode pertanian berkelanjutan dengan tetap menjaga kesimbangan jaringan. Metode pranoto mongso diharapkan petani dapat mengetahui dan memprediksi pola bercocok tanam yang tepat di masa-masa krisis. Pada umumnya petani atau nelayan di Pulau Jawa menggunakan pranoto mongso (aturan waktu) untuk memulai pekerjaan, kapan waktu bertanam, waktu memanen atau bagi nelayan kapan waktu mencari ikan. Dulu petani dapat memperkirakan kapan musim hujan dan kapan musim kemarau, tetapi sekarang dengan perubahan iklim yang tidak menentu maka perlu dicari alternatif lain, agar tetap mendukung keberlangsungan aktivitas pertanian , misalnya dengan rekayasa genetika, pemakaian pupuk.
2. Pertanian Berbasis Ekoregion
Narasumber yang kedua Bapak Khudori, menyampaikan metode pertanian yang berbasis Ekoregion
(sumber : Dok.FAAPPMI) |
Kendala produksi pangan antara lain sebagian besar petani gurem,perubahan iklim yang makin sulit diprediksi, Subsisi input (pupuk & benih) tidak sesuai kebutuhan, sumber air di hulu rusak, dan infrastuktur yang kurang memadai. Pertanian Ekoregion merupakan salah satu alternatif sistem pertanian yang berkelanjutan, dimana sistem ini bertumpu pada 3 pilar ketangguhan yaitu ekonomi,ekologis dan sosial.
Pertanian Ekoregion sudah diterapkan, meskipun belum sempurna yaitu dalam perencanaan penggunaan lahan pertanian, seperti pemetaan kesusaian lahan, pemetaan zona agroekologi dan zona rawa. Prinsip Ekoregion seperti prinsip otonomi daerah, yang tidak sentralistik, tetapi menyesuaikan dengan kebutuhan daerah. Hal ini akan memunculkan kreativitas dan secara bertahap akan terjadi spesialisasi. Jadi menggunakan pendekatan sesuai kondisi dan kebutuhan
region, bukan pendekatan komoditas.
Sistem Pertanian ini mempunyai kendala, antara lain elit daerah tidak mengaggap penting isu pertanian, Ketergantungan yang tinggi pada produktivitas di Pulau Jawa, Ego daerah masih amat menonjol
3. Rencana Lima Tahun Pemerintah Terkait Kebijakan Produksi Pangan
(sumber: dok FAAPPMI) |
Narasumber dari Bappenas Noor Avianto memberikan pandangan tentang kebijakan produksi
lima tahun ke depan. Terkait pangan dan pertanian berkelanjutan, pemerintah
akan meningkatkan tanaman pangan padi
mencapai surplus beras. Memfokuskan jagung untuk memenuhi keragaman pangan
lokal, mengamankan kecukupan kebutuhan kedelai untuk konsumsi produsen tahu dan
tempe. Selain itu pemerintah akan memfokuskan pemenuhan konsumsi rumah tangga terkait
gula, daging sapi dan garam
4. Peranan Aktif Perempuan dalam Pelaksanaan Pertanian Berkelanjutan
Narasumber dari Oxfam Indonesia (LSM Internasional yang berkomitmen untuk mencapai salah satu SDGs yaitu mengakhiri kepalaran) Ibu dini Widiastuti mengingatkan tentang peran perempuan dalam aktivitas pertanian yang berkelanjutan. Selama ini pertanian identik dengan laki-laki, contoh kecil nya gambar dalam aktivitas pertanian selalu di dominasi gambar laki-laki, jarang sekali perempuan yang ikut berperan. Padahal perempuan, mempunyai potensi yang besar untuk memajukan pertanian, seperti membuat keputusan tentang makanan yang akan di konsumsi oleh seluruh keluarganya, apakah akan menggunakan bahan pangan lokal atau impor, apakah mengkonsumsi sayuran organik atau anorganik, dsb. Bukan hanya dari lingkup keluarga saja, tetapi perempuan dapat melakukan kegiatan pengolahan bahan pangan, memasarkannya melalui koperasi yang dapat memberi nilai tambah sekaligus mendukung aktivitas pertanian berkelanjutan
5. Mengkonsumsi Bahan Pangan Lokal
Setelah keempat narasumber menyampaikan gagasan dan konsepnya yang lumayan "berat", Dea Ananda lebih banyak berkisah tentang kebiasaan dari kecil mengkonsumsi sayuran sehat dan bahan pangan lokal. Saat kecil untuk mengkonsumsi makanan fast food atau junkfood Dea hanya sebulan sekali. Kebiasaan orangtuanya dibawa sampai sekarang sudah menikah, selalu mengkonsumsi sayuran lokal untuk keluarganya dan dibeli di pasar. Hal ini berdampak positip bagi kesehatan tubuhnya. Selain itu Dea juga menyarankan jangan mudah "brain wash" dengan makanan dari luar negeri. Terkadang kita lebih bangga makan khas luar negeri seperti Kimchi, Bulgogi dari Korea, padahal ada sayur gudeg, semur jengkol, gado-gado yang asli Indonesia yang rasanya juga tidak kalah dengan makanan luar negeri. Indonesia kaya dengan keanekaragaman tanaman pangan dan ini sudah pasti sesuai dengan kebutuhan orang Indonesia. Dengan kita mengkonsumsi bahan pangan lokal dari negeri sendiri diharapkan akan meningkatkan produktivitas pangan, dan sekaligus sarana promosi kepada dunia internasional, sehingga kedepannya sayuran atau buah-buahan dari Indonesia juga dikonsumsi di negara lain. Pada akhir presentasi Dea Ananda mengajak peserta diskusi untuk bernyanyi lagu Du di dam, lagu anak tahun 90an liriknya mengajak kita untuk mengkonsumsi makanan lokal.
Saya beruntung dapat menjadi salah satu peserta Media Talk ini, selama ini isu tentang pangan sangat jauh dari pemikiran saya, padahal setiap hari selalu berinteraksi dengan makanan. Tidak pernah berfikir bagaimana caranya pertanian terus berlanjut demi mencukupi ketersediaan pangan kita. Semoga dengan diskusi-diskusi semacam ini akan makin membuka wawasan dan pemikiran masyarakat tentang arti pentingnya pertanian berkelanjutan sebagai salah satu solusi ketahanan pangan global.
Meskipun dalam perundang-undangan, disebutkan bahwa "Negara wajib mewujudkan ketersediaan , keterjangkauan,dan pemenuhan konsumsi pangan tingkat nasional,daerah dan perseorangan" (UU Pangan), tetapi program pemerintah tidak akan berhasil tanpa di dukung dari masyarakatnya.
Yuk Ajak Generasi muda kita untuk mencintai Pertanian...
Saya mau tanam batang gamal, yang nantinya akan menjadi tajar hidup tanaman vanili.. Sebaiknya di pranoto mongso keberapa? Seandainya waktu paling cepat Agustus September ❓ Terima kasih..
ReplyDelete